At A Cozy Afternoon

 Wednesday, August 05, 2009

Jika ada lagi pengalaman yang membuat saya cukup amaze, maka pengalaman itu terjadi kira-kira awal November tahun lalu.. Sore itu saya diajak dua teman dekat dan seorang teman lainnya menemui Iwan Abdurrahman (Abah Iwan) untuk suatu urusan di kediamannya yang serba hijau di daerah Cigadung Raya.

Memasuki gerbang rumahnya yang tinggi, kami dibuat ternganga.. “what a house!!” Begitu kira-kira yang ada di benak kami masing-masing saat kendaraan yang saya kendarai melaju memasuki pekarangan rumahnya yang luas. Kontur tanahnya yang berbukit ditumbuhi pepohonan pinus di mana-mana.. and guess what?? Ternyata ada pula pohon bunga sakura yang sedang mekar di sana. Dua buah bangunan rumahnya sendiri samar-samar terlihat dari sela-sela jajaran pohon-pohon pinus di tanah yang berbukit itu. Rumah bergaya country ala Amerika atau Eropa sana.

Sore itu baru saja hujan dan pemandangan di kediaman musisi sekaligus salah satu ‘mbah’-nya Wanadri ini betul-betul membuat kami takjub! Rupanya di antara keruwetan Bandung, pemandangan yang serba hijau dan asri yang menyejukkan hati masih bisa ditemui.

Setelah kendaraan terparkir, kami pun turun dari kendaraan dan mengikuti instruksi penjaga rumah yang ramah untuk menemui beliau di sebuah bangunan rumah yang terletak di atas tanah berbukit itu. Kami lalu berjalan menaiki tanah berbukit itu, pohon-pohon pinus berdiri di kanan kiri kami, aroma kayu yang menyegarkan tercium lewat hembusan angin.. “wow”!!

“Beginilah jika seseorang mencintai alam dan lingkungannya, maka Tuhan akan menganugerahkan keindahannya pada orang tsb.” Kalimat itu tiba-tiba saja terucap dari mulut saya, sementara teman-teman saya lainnya juga sibuk dengan ketakjubannya masing-masing.

Kami pun tiba di sebuah bangunan yang bernuansa country itu. Untuk sampai di pintu depan rumah tersebut, kami mesti menaiki beberapa anak tangga terlebih dulu. Dan, setibanya di depan pintu, seseorang kemudian menyambut akrab dan hangat kedatangan kami.. “Mangga-mangga leubeut..” Setelah melepaskan alas kaki, kami pun mengikuti pria tsb masuk ke dalam bangunan rumah..

“Ngobrol-ngobrolnya kita di ruang bawah tanah aja ya..” Ujarnya seraya berjalan menuju ruangan yang dimaksud. Kami lalu mengikutinya, menuruni anak tangga sampai kemudian memasuki sebuah ruangan yang mirip ruang tamu itu. Kami pun duduk di sana ditemani pria yang amat friendly itu ngobrol sambil menanti abah Iwan datang. Seorang pelayan rumah kemudian menawari kami minum.. “Mau minum apa mbak, teh, kopi, atau air putih saja?” Kami pun sepakat memilih teh saja. Akang pelayan pun pergi membuatkan teh untuk kami, dan tak lama kemudian ia sudah kembali menyuguhkan teh hangat dan sebuah stoples berisi gula putih untuk kami. Sambil ngobrol, sesekali kami mengamati ruangan yang berdinding batu alam itu, gambar-gambar ala country tertancap di sana, ada juga piano tua berdiri di ruangan itu. Pintu keluar terbuka lebar, pemandangan pohon-pohon pinus itu pun kembali terlihat... hmmm... kami seolah sedang berada dalam sebuah rumah di tengah hutan pinus Amerika sana...

Melihat piano tua, Saya pun membayangkan mungkin piano itu sering dipakai Abah Iwan untuk menciptakan lagu-lagu serta syairnya yang indah. Vina Panduwinata pernah menyanyikan beberapa karya Iwan Abdurahman dan memenangkan berbagai penghargaan dalam dan luar negeri…

Tak lama sosok yang dinanti pun muncul. Beliau menyambut kami ramah seraya menjabat tangan kami. Tak lama kami pun membahas maksud dan tujuan kami menemuinya. Tak sekedar begitu, kami juga ngobrol banyak sekali tentang alam dan lingkungan di kota Bandung. Dan, di luar dugaan.. Abah Iwan ini begitu ramah dan bersahabat. Tak terasa kami ngobrol lebih dari satu jam, sharing dan tentu saja kita diajak untuk berkontemplasi, merenungkan alam terutama lingkungan tempat kami tinggal ini dengan segala kesemrawutannya yang tak jarang kami serapahi ini..

Di antara obrolan itu, Abah Iwan membahas tentang bunga flamboyan, salah satu judul lagu ciptaannya. Apakah flamboyan berguguran itu kini sudah tak dapat lagi dijumpai di Bandung yang tak seindah dulu?? (Ini pula mungkin pertanyaan yang sering hinggap di benak masyarakat Bandung lainnya atau paling tidak yang tau lagu Flamboyan).. Dan inilah jawaban beliau.. Bunga Flamboyant masih bisa dinikmati di kota Bandung, daun-daunnya pun masih berguguran meski tak seperti karpet merah yang ada di dalam syair lagu Flamboyan. Coba amati di daerah Jl. Supratman dan Dr. Cipto pada bulan September dan Oktober.. maka flamboyan itu ada, bermekaran dan berguguran (bahkan pohon flamboyan yang dulu menginspirasi Abah menulis lagu Flamboyan itu pun masih ada di daerah Dr. Cipto).


Sayangnya fenomena Flamboyan ini tidak banyak disadari oleh kebanyakan masyarakat Bandung kini. Benak kita sudah terlalu banyak dipenuhi dengan gambaran Bandung yang semrawut, sesak, macet, panas, dan citraan buruk lainnya, sehingga fenomena sederhana namun sesungguhnya indah itu tak dapat kita lihat. Jiwa dan batin kita sudah banyak dipenuhi kekesalan, sehingga hal sederhana yang justru menyimpan keindahan luput dari pantauan kita. Abah pun mengakui dirinya dulu pernah marah dan berserapah, tapi kemudian ia menghitung setiap serapah yang keluar dari mulutnya itu dan menggantinya dengan menaman sejumlah tanaman sesuai jumlah serapah yang pernah keluar dari mulutnya di tempat-tempat tandus. Jadi alih-alih berserapah lebih baik ganti saja dengan menanam pohon, begitu pesan Abah..

Hmmmm... andai bisa semudah itu kami menutup mulut, berhenti ngeyel melihat berbagai kesemrawutan itu, sementara segelintir orang yang punya kepentingan enak-enak saja mengeruk keuntungan demi keuntungan di atas kesemrawutan dan perusakan kota yang dulu dijuluki Parijs van Java ini!

Tapi Abah, sungguh kami betul-betul melupakan kesumpekan kota ini di tengah obrolan sore yang hangat itu, di tengah udara dingin di antara pepohonan pinus, rintik-rintik kecil hujan yang kembali turun..

Sebelum pulang di sore menuju Maghrib itu, Abah mengajak kami terlebih dulu berkeliling ke setiap ruangan di rumah itu. Ada sebuah kamar tamu yang ranjang tidurnya menghadap jendela yang menyuguhkan pemandangan bukit pepohonan pinus.. “what a life!!!” Persis seperti ungkapan seorang bayi lucu yang mulutnya tersenyum lebar yang terpampang di dinding kamar itu. Kemudian abah mengajak kami ke bangunan rumah yang lain yang didiaminya bersama keluarganya yang terletak di bawah bukit. Dinding luar rumah itu dipenuhi dedaunan yang merambat yang sumber pohonnya tumbuh di dalam ruang tamu kediaman Abah. It takes 20 years untuk bisa berdaun lebat menutupi seluruh dinding luar rumah itu..

Sore sudah hampir Maghrib, akhirnya kami pun pamit pulang, dan Abah sendiri yang membukakan pintu gerbang sambil membantu memberi aba-aba pada saya hingga mobil melaju meninggalkan kediamannya.. Terima kasih Abah, sungguh sore yang indah!
pic taken from : http://people.uleth.ca/~holzmann/nz/

Read more...