...saya tantang mereka untuk dua hal. Yang pertama kalau aktris dalam film seks itu pemerannya ibu, istri, anak, saudara perempuan atau keponakan perempuan mereka dan bukan aktris lain. Bagaimana perasaan mereka? Tak dijawab. Kepada novelis saya tantang bagaimana jika tokoh dalam novel mereka itu yang melakukan seks bebas itu ibu, anak perempuan,saudara perempuan, atau keponakan kalian. Kemudian buat acara. Bacakan novel itu di tengah keluarga dan lihat bagaimana reaksi mereka? Juga tak dijawab.
Itu adalah cuplikan jawaban penyair besar Indonesia Taufiq Ismail dalam sebuah wawancara dengan wartawan Republika (Siti Darojah Sri Wahyuni dan Amin Madani) yang dimuat di Koran Republika (juga on line) Rabu, 20 Februari 2008 terkait dengan Sidang Mahkamah Konstitusi yang membahas permohonan para sineas muda terkait UU tentang perfilman, utamanya terkait tentang sensor film.
Berikut saya kutipkan hasil wawancara tsb. selengkapnya (plus puisi karya beliau) agar kiranya dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua yang peduli terhadap masa depan bangsa ini.. Semoga bermanfaat!
TEBING TAK TAMPAK, JURANG TAK TAMPAK
(Taufiq Ismail)
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar lumayan luasnya
Di sana anak-anak kecil bisa bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Karena penduduk desa cinta pada anak-anak mereka
Masih waras dan tak mau anak-anak celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Nah, pada suatu hari
Ada anak-anak ABG berdemonstrasi
Menuntut yang menurut mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan suara yang diusahakan harmoni
"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya
Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, anak-anak rabun dan buta
"Saudara-saudara, ABG-ABG ini jangan dicerca
Mereka punya kelainan dalam instrumen mata
Banyak yang rabun, mungkin juga buta
Kena virus datang dari kota, luar desa kita
Konsep tebing dan jurang, tak masuk akal mereka
Tak tampak bahaya kedua-duanya
Beritahu mereka baik-baik, sabar-sabar senantiasa
Masih banyak urusan lain di desa kita."
Bagaimana Anda bisa terlibat dalam uji materil di MK tentang lembaga sensor film?
Keterlibatan saya di dalam sidang MK itu karena diminta oleh Badan Sensor Film. MK merespons permohonan sejumlah sineas muda untuk meninjau materi tentang sensor. Saya menerimanya karena melihat diktum-diktum yang dituntut sineas muda itu yaitu kebebasan dalam berkreasi itu sudah melampau, sudah berlebihan.
Nah, saya bukan pakar di bidang hukum. Jadi ketika dalam sidang tersebut saya menyampaikan suatu konstatasi bahwa sekarang di tengah masyarakat, dalam masa sesudah 1998 atau masa reformasi terjadi bukan saja perubahan politik tapi juga arus besar yang digerakkan oleh budaya permisif dan adiktif di Tanah Air kita. Tak ada sosok dan organisasinya tapi kerja samanya itu mendunia, kapital raksasa mendanainya, landasan ideologinya neoliberalis dengan banyak media massa jadi pengeras suaranya. Menurut saya ada sepuluh komponen dalam gerakan ini yang jaring pengikatnya adalah syahwat atau seks. Saya menyebutnya Gerakan Syahwat Merdeka.
Apa saja sepuluh komponen itu?
Mereka adalah praktisi sehari-hari seks liar baik yang gratis karena sama-sama suka atau membayar dalam jaringan prostitusi. Yang kedua pembuat film, produser dan pengiklan acara televisi syahwat yang acaranya ditonton 170 juta pemirsa. Ketiga, penerbit majalah dan tabloid mesum tanpa SIUP. Ke empat situs porno di internet. Di dunia ada 4,2 juta situs porno dan 100 ribu di antaranya di Indonesia.
Seorang pengamat sosial di AS berkata bahwa fenomena situs porno di negaranya seperti gelombang tsunami setinggi 10 meter dan melanda seluruh bangsa yang dilawan hanya dengan dua telapak tangan. Mereka saja tak berdaya sama sekali, apalagi kita di Indonesia. Yang kelima produsen dan pengecer VCD film biru di Indonesia. Sekarang Indonesia sorga besar pornografi yang paling murah di dunia. Dulu Rp 30 ribu dan sekarang Rp 3.000. Jumlah VCD bajakan juga tak diketahui pasti namun diperkirakan satu juta keping dalam setahun. Artinya tiap 25 detik satu keping diproduksi. Bukan hanya orang dewasa tapi anak SD dan SMP bebas membelinya.
Kemudian penerbit dan pengedar komik cabul yang sasarannya anak sekolah. Ketujuh penulis novel dan cerpen yang asyik dengan alat kelamin manusia. Terbanyak penulisnya perempuan. Saya memberi julukan mereka itu SMS atau sastra mazhab selangkang seangkatan dengan fiksi alat kelamin (FAK). Kedelapan produsen dan pengedar narkoba yang mencengkeram tiga juta anak dan 40 orang mati sehari karenanya. Beban ekonominya mencapai Rp 11 triliunan. Kesembilan pabrik minuman beralkohol yang menjualnya hingga ke desa-desa dan di kios-kios di depan sekolah dengan harga ribuan perak saja per botol kecil.
Yang berikutnya produsen dan penghisap nikotin. Sehari 156 orang mati karena menghisap karena 26 penyakit akibat nikotin. Mengapa rokok, alkohol dan narkoba saya masukkan ke dalam kelompok ini karena sifat adiktifnya dalam saraf manusia mirip betul dengan pornografi. Dan dalam interaksi antarmanusia yang permisif, antara seks, alkohol, narkoba dan nikotin susah dipisahkan.
Gelombang yang terjadi ini belum kita alami sebelum 1998. Kita lihat poliferasi atau penularan penyakit sifilis, gonorhea, dan HIV AIDS yang luar biasa. Siflis dan Gonorhea ada obatnya tapi HIV belum ditemukan obat yang manjur. Kita lihat juga ada perkosaan terhadap anak-anak kecil. Terjadi pagi hari saat mami dan papinya sudah berangkat kerja dan si embak sedang pergi ke pasar. Yang ada hanya anak lelaki tetangga berusia 9-10 atau tahun yang mengancam anak perempuan tadi saat memperkosa. Ini banyak sekali. Di ujung jalan, dari sepuluh gerakan dan hubungan seks tak wajar ini terjadi aborsi.
Menurut data FK Udayana setiap 15 detik satu bayi meninggal karena jumlahnya per tahun 2,3 juta. Ini pidato saya saat di Akademi Jakarta beberapa tahun silam.
Anak-anak pembuat film itu berada di depan. Dari judul-judulnya sudah nampak. Ada film berjudul 'Maaf Aku Menghamili Istri Anda' dan film yang diprotes Aa Gym itu 'Buruan Cium Gue'. Ada yang membuat saya geleng kepala. Sekarang beredar dengan judul 'Quickie Express'. Ini pasti dibuat oleh anak yang baru tahu bahasa Inggris.
Quickie itu janji kencan antara lelaki dan perempuan untuk berzina saat waktu dan tempat amat terbatas dan dilakukan cepat. Kalau orang tahu artinya dalam bahasa Inggris, pasti terkejut dengan judul film ini. Eh, malah ditambah kata 'Express'. Sudah sampai begitu. Ini anak-anak muda dan mereka pinter-pinter. Waktu saya sepuluh menit di MK. Jadi saya sampaikan puisi saya.
Apakah puisi itu ada dampaknya?
Saya kira ini memberi dampak yang bagus karena yang lain semua bicara soal hukum yang menjemukan. Puisi itu metafora dan simbolisme yang mudah ditangkap. Saya risau betul dengan keadaan ini. LSF sebagai lembaga sensor juga pekerjaanya tidak sempurna banyak kekurangan di sana dan sini. Tapi jangan dibubarkan. Jika dibatasi dengan ukuran jangka umur seperti tuntutan mereka itu, akan berantakan luar biasa kita ini. Sekarang saja kita sudah berantakan apalagi jika tak ada peraturan.
Mengapa tuntutan kebebasan itu banyak dari kalangan seniman?
Kebebasan datang di Indonesia setelah kita direpresi 39 tahun yakni 32 tahun pada Orde Baru dan tujuh tahun masa Orde Lama. Jadi start-nya itu tahun 1959. Ada dua tahun setelah 1965 yang cukup baik tapi disusul 32 tahun represi yang luar biasa di semua bidang politik budaya keamaan. Arus itu jebol tahun 1998 saat reformasi. Termasuk bidang seni budaya.
Tapi arus yang sedemikian parah ini apakah juga melanda negara tetangga seperti Malaysia?
Tidak. Demokrasi mereka tak seperti kita. Banyak orang cemburu dengan kita karena orang boleh bicara apa saja tanpa takut ditangkap. Di singapura dan Malaysia ada batas-batas karena masih ada Internal Security Act, seperti kita pada Orde Baru dan Lama. Sekarang bablas semua.
Kekeliruan kita adalah karena pada 1998 tidak ditaruh pancang-pancang untuk membendung air bah. Jika kita lihat pada 1999, 2000 tabloid-tabloid mesum luar biasa beredar. Yang mengiklankan seks itu juga luar biasa lengkap dengan nomor telepon, tempat dan alat-alatnya. Sudah tak ada lagi instrumen yang membatasi. Di bidang film sineas muda merasa masih ada yang membatasi. Kemudian mereka berkumpul dan inilah yang terjadi.
Banyak sineas mengatakan di luar negeri juga ada sensor. Lalu dari mana gagasan sineas muda ini menuntut kebebasan yang seluas-luasnya?
Ya itu tadi, karena air bah yang tujuh-delapan tahun mengalir deras. Mereka bertengger di atas air bah dan menuntut kebebasan yang lebih maksimal lagi. Mereka tak puas dengan yang ada sekarang dan menuntut yang lebih lagi.
Sebagai budayawan, bagaimana perasaan Anda dengan situasi ini?
Saya amat risau. Galau betul rasanya.
Jadi, kita seperti sedang kehilangan nasionalisme?
Ya. Banyak sekali nilai yang dilanggar dan semuanya melampau atau menjadi sangat ekstrem. Ini ciri orang neoliberal. Apa yang menghalangi mereka disebut sebagai tabu. Dan sebuah tindak kepahlawanan apabila tabu itu bisa didobrak. Mereka akan dapat tepuk tangan yang hebat. Nah peraturan ini dianggap sebagai tabu.
Kembali ke dunia film. LSF saja saat ini kelabakan karena bukan hanya film layar lebar tapi sinetron di televisi yang jumlahnya bukan lagi berpuluh tapi beratus-ratus. Mereka kelabakan dan menggapai-gapai. Jadi memang cara kerjanya harus diatur.
Apa ada kaitan dengan kegagalan pengajaran moral di sekolah?
Ini berangkai-rangkai. Dampak pengajaran agama di sekolah itu tak seberapa. Reformasi yang menjadi faktor utama. Amin Rais dan tokoh reformasi pasti tidak menyangka bahwa negara kita seperti ini jadinya. Ini membuat negara tetangga iri sekali.
Seorang teman di Malaysia menceritakan keheranannya. Kata dia di Indonesia itu kok yang suka berlucah-lucah (menulis kisah cabul) itu perempuan. Di Malaysia ada juga tapi lelaki. Mereka bertanya apa sebab? Saya katakan rasa malu yang sudah hilang. Mereka juga heran melihat novel-novel kita yaitu sastra mazhab selangkang yang asyik betul dengan syahwat, yang ketika keluar dipuja-puji dan diberi tepuk tangan. Maka itu dalam pidato saya sampaikan bagaimana membangkitkan rasa malu.
Bukankah karya sastra atau seni itu potret kehidupan masyarakat nyata?
Betul. Tapi, saya tantang mereka untuk dua hal. Yang pertama kalau aktris dalam film seks itu pemerannya ibu, istri, anak, saudara perempuan atau keponakan perempuan mereka dan bukan aktris lain. Bagaimana perasaan mereka? Tak dijawab.
Kepada novelis saya tantang bagaimana jika tokoh dalam novel mereka itu yang melakukan seks bebas itu ibu, anak perempuan,saudara perempuan, atau keponakan kalian. Kemudian buat acara. Bacakan novel itu di tengah keluarga dan lihat bagaimana reaksi mereka? Kemudian kumpulkan orang pengajian, guru, tokoh dan bacakan pula isi novel itu dan tunggu reaksi mereka. Juga tidak dijawab.
Kepada majalah porno yang modalnya dari AS saya tantang bagaimana jika modelnya itu anak perempuan, saudara, ibu, istri atau keponakannya. Juga tidak dijawab. Karena ini semua menyangkut malu. Jika orang ini tak malu pasti mereka sakit jiwa dan menjadi urusan psikiater. Kepada sineas yang membuat film alat kelamin ini saya tantang untuk membuat film tentang kemiskinan. Ada 30 juta penduduk Indonesia miskin dan 70 juta orang menganggur. Mereka tidak menjawab. Juga satu lagi tantangan saya buat film tentang kebodohan. Ada 13 juta anak Indonesia tidak bisa sekolah karena tidak mampu. Mau ke mana mereka nantinya. Ini problem besar yang harus dicarikan solusinya.
Sepertinya ini jadi konflik antara budayawan lama dan angkatan muda. Masih ada yang karyanya mencerminkan kebaikan?
Banyak sekali. Lihat Forum Lingkar Pena yang anggotanya ribuan dan cabangnya ratusan di daerah. Karya mereka baik tapi tidak tercover media massa. Bukan lantas saya pesimistis.
Nyatanya memang media cenderung neoliberal?
Ya, karena modalnya dari sana. Mereka di belakang gerakan syahwat merdeka yang di baliknya ada Amerika dengan nilai triliunan dan berkaitan dengan narkoba. Saya diceritakan film tentang perjalanan anak muda di Yogya. Mereka berhubundan seks menghisap narkoba dan ditunjukkan jelas bagaimana cara menggunakann alat hisap narkoba itu. Ini kan namanya kerja sama. Sepuluh komponen yang bekerja sama.
Apa yang Bapak lakukan untuk menghalau arus ini?
Saya mengingatkan. Itu kewajiban saya. Saya bicara kuantitatif dengan angka-angka untuk meyakinkan orang tentang aborsi, jumlah VCD. Saya bukan bagian dari bikrokrasi yang bisa memutuskan melalui kebijakan. Karena itu saya berterima kasih jika Republika masih mau menyuarakan ini.
Anak muda kita juga sepertinya tak lagi mengenal karya sastra lama yang menjadi bekal?
Betul. Itulah pengajaran sastra di sekolah harus sama-sama diperbaiki. Saya memang sudah mulai kegiatan Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB). Kami jalan ke 213 sekolah, 164 kota, dan membuat 133 sastrawan di 33 provinsi dan mencetak seratus aktor dan aktris. Ini untuk meningkatkan kebiasaan membaca buku, dan berlatih menulis dan apresiasi sastra. Bagaimana sekarang anak sekolah tidak membaca.
Ini perbandingan buku yang wajib dibaca dalam waktu tiga tahun di sekolah di mana disediakan buku di perpustakaan. Di Thailand Selatan siswa membaca lima judul, di Malaysia enam judul, Rusia 12, Kanada 13 judul, di Jepang 15, di Swis 15 judul dan Jerman 22, di Prancis 20 buku, Belanda 20, di Amerika 30 judul dan di Indonesia nol baik di desa-kota sejak 1983-2006.
Saya sedih mendengarnya karena harusnya mereka tahu Hamzah Fansuri, Amir Hamzah. Bukan salah mereka tapi sistem.
Dulu, saya hanya mengeritik dan menendang-nendang tapi kini saya menggerakkan dengan turun ke kota-kota. Ini saja sudah masalah besar sekarang datang lagi masalah ini. Saya juga baru kembali dari Padang, ada seorang wartawan membuat kuisoner tentang internet masuk sekolah. Hasilnya, 51 persen dari anak sekolah melihat situs porno.
Bayangkan itu akibat internet masuk sekolah. Itu anak usia 15-17 tahun melihat aurat yang tidak haknya. Tapi bukan hanya melihat tapi melihat bagaimana aurat itu difungsikan.
Tiga tahun lalu saya bicara dengan Menkominfor yang waktu itu masih Sofyan Jalil. Depdiknas dengan bangga mengumumkan internet masuk sekolah. Dalam hati saya katakan jangan-jangan aduh bahaya. Nanti jika saya ditanya, oleh Allah di Yaumul Hisab saya sudah katakan saya sudah menyampaikannya.
Read more...