Cinta..

 Sunday, May 27, 2007


"Love does not consist in gazing at each other, but in looking outward together in the same directions." Begitu Antoine de Saint-Exupery, Sastrawan Perancis menyimpulkan cinta.

Ada juga orang Perancis yang bilang, "L'amour n'est pas parce que mais malgre." Cinta itu bukan "karena", tapi "walaupun". Jadi kalau kita masih mempertanyakan untuk apa kita mencintai seseorang, artinya kita masih pada tahap pare que, tahap "karena". Kita belum sampai pada tahap "walaupun". Kata orang bijak, seseorang belum dapat dikatakan mencintai bila ia masih suka memperhitungkan atau mempertanyakan yang dicintainya.

Ada lagi menurut Goethe, katanya cinta itu punya kekuatan yang mampu merubah seseorang, "we are shaped and fashioned by what we love".

Lain lagi menurut kajian National Geographic yang pernah pula menggarap persoalan cinta. Kajian tsb menyebutkan bahwa cinta adalah sebuah reaksi kimia-biologi yang terjadi dalam tubuh yang tak ada kaitannya dengan masalah psikis.. Hati yang berbunga-bunga saat jatuh cinta adalah sebuah proses kimia yang terjadi dalam tubuh kita tatkala hormon dopamin dan serotonin diproduksi tubuh dengan kadar tinggi.. Jadi tatkala kedua senyawa kimia tsb tak lagi berkadar tinggi, kita takkan lagi merasakan sensasi cinta yang mendebarkan itu.

Lebih lanjut, sebuah penelitian menemukan bahwa sejenis tikus padang rumput mempunyai pola hubungan seks yang monogamy dan abadi. Mereka kawin dengan satu pasangan saja sepanjang hidup. Usut punya usut, ternyata tikus tsb mempunyai kadar senyawa oksitosin yang tinggi. Senyawa oksitosin ini lah yang menimbulkan perasaan keterikatan. Dan, tatkala si peneliti menghambat produksi oksitosin dalam tubuh tikus, si tikus pun bercerai dan berkelana.

Setiap orang bisa jadi punya definisi berbeda soal cinta, meski sensasinya pastilah sama-sama mendebarkan tatkala chemistry itu muncul, tapi.. kita keliru jika berharap cinta akan otomatis langgeng. Tanah suci sekali pun tak serta merta menjamin keutuhan cinta jika kita tak 'menggarap'nya dengan semestinya.. Kesakralan tanah suci mestinya bisa jadi tali yang kokoh jika saja kita menyadari cinta itu tak sekedar urusan perasaan, tapi juga butuh kesadaran, akal sehat, serta perlu terus belajar dan berlatih.

Simak komentar Sara Paddison dalam "HeartMath Discovery Program": Love is not automatic, it takes conscious practice and awareness, just like playing the piano or golf. However, you have ample opportunities to practice. Everyone you meet can be your practice session.

Well, practice makes perfect since it came to love..

GOOD LUCK, every one!

Read more...

Famale Modesty vs Male Chauvinist

 Thursday, May 03, 2007

Majalah Cosmo edisi Desember 2001 pernah memuat artikel keluarga berjudul "Bahagia = Pasrah Total pada Suami". Artikel tsb banyak mengupas bukunya Laura Doyle, "The Surrendered Wife". Doyle adalah seorang pengamat pernikahan paling kontroversial di Amerika yang membersitkan ide tentang pasrah total kepada suami. Hmm.. mungkin ini terdengar ekstrem karena konon si Laura ini dulunya seorang feminist dan mantan "wanita galak"..

Koq bisa??

Menurut Laura, "Menyerah adalah jalan untuk menemukan keintiman, gairah, dan kedamaian dengan pria." Istilah menyerah baginya termasuk menyerahkan seluruh kendali keuangan pada suami. Tak peduli sekalipun suami payah dalam soal pengelolaan keuangan. Kepasrahan juga berarti anda tak boleh membantahnya. Selalu setuju pada semua pendapat suami, sampai ke hal terbodoh sekalipun. Anda juga berkewajiban melayaninya bercinta paling sedikit seminggu sekali, atau kapan saja suami anda menginginkannya, tidak ada istilah tidak mau.

Nah, yang seperti itu mungkin type wanita yang didambakan Ahmad Dhani.. :)

Anyway, majalah Time bahkan menyebutkan bahwa ajaran Laura ini berhasil mengubah kehidupan perkawinan banyak wanita Amerika. Salah seorang wanita tsb mengaku dulunya sangat berkuasa atas suaminya, bahkan untuk urusan kaos kaki yang akan dipakai suami ke kantor! Sudah tentu lah perilaku sang istri ini menimbulkan problem dalam rumah tangganya. Tapi semenjak mengikuti saran si Laura itu, kehidupan rumah tangganya jadi lebih bahagia.

Laura sendiri juga sebetulnya termasuk tipe wanita yang sangat ambisius dan suka memerintah. Baginya, punya suami pasif sama saja dengan "sleeping with the enemy". Bertahun-tahun ia merasa seperti berada di neraka karena tak bisa saling menyesuaikan diri. Menurut psikiater, masalahnya adalah kritik yang membabi buta yang dilontarkan Laura pada suaminya itulah yang jadi masalahnya. Suatu saat ketika sedang kencan makan malam dengan suaminya itu, Laura harus menahan diri untuk tidak mengumbar kritikan dan mendiktenya. Akibatnya, karena tak tahan mengendalikan kebiasaan buruknya itu, Laura malah "meledakkan" amarahnya itu pada waitress yang melayaninya. Meski ia mengaku gagal mengendalikan emosinya saat itu. Pengalaman itu memberikan pelajaran baginya untuk tutup mulut, dan menginspirasinya untuk menahan diri terhadap suami.

Well, ungkapan male chauvinist pig rupanya perlu diralat lagi.. Sifat modesty tak lagi perlu dikebiri, dan.. feminist tulen tak perlu lagi menendang lutut pria yang ingin bersikap gentleman.. hehe..

Read more...