Poligami dalam Pandanganku.. (part 1)

 Monday, August 01, 2011

Isue poligami menyeruak tatkala seorang da’i yang sedang di puncak karirnya mengaku pada public bahwa dirinya telah menikahi seorang perempuan setelah istri pertamanya. Sontak public kaget tak percaya bahkan kecewa, terutama ibu-ibu yang selama ini menjadi fans beratnya.

Poligami bagi perempuan bisa jadi tak ubahnya mimpi buruk. Perempuan mana sih yang mau dimadu?? Saya pun termasuk yang merasa tidak sanggup kalau harus menjalani poligami, meski saya tidak menyalahkan mereka yang mempraktekannya.

(Sebelum akhirnya sedikit demi sedikit mulai memahami mereka yang memilih poligami) dulu saya sempat sangat antipati sama yang namanya poligami, apalagi perselingkuhan. Begitu gencarnya saya menyuarakan anti poligami. Saya dukung habis-habisan mereka yang juga memiliki pendapat sama. Bahkan saya sempat mengisi sebuah artikel tentang poligami di majalah tempat dulu saya bekerja sebagai reporter. Badriyah Fayumi, anggota DPR-RI komisi VII periode 2004-2009 waktu itu, salah satu nara sumber yang sempat saya wawancara untuk dimintai tanggapannya mengenai poligami. Beliau yang memang sudah sangat mafhum dengan dinamika urusan perempuan ini pun termasuk yang menentang poligami.

Beberapa kalangan menyebut poligami sebagai emergency exit. Artinya ketika nafsu berahi sudah tak sanggup dibendung, maka poligami bisa menjadi jalan keluar darurat, begitu kira-kira. Alhasil dengan begitu, poligami jadi identik dengan nafsu berahi semata, padahal poligami yang dijalankan oleh Rasulullah Muhammad saw, amat jauh dari urusan semacam itu. Mereka yang menyebut poligami sebagai sunnah Rasul, lantas menyebutnya sebagai emergency exit malah telah mengecilkan makna poligami yang dijalankan Rasul yang sesungguhnya amat mulia. Dan secara tidak langsung telah mengecilkan makna ke-Islaman itu sendiri.

Kita semua tahu bahwa pernikahan-pernikahan Muhammad saw dilandaskan atas dasar kemanusiaan, keadilan dan misi beliau dalam menyebarkan agama Islam. Penting pula untuk diingat bahwa Nabi tidak mengambil istri lain selama 17 tahun pernikahannya dengan Khadijah (hingga beliau wafat). Pun, beberapa istri Nabi sesudah Khadijah, adalah janda-janda yang ditinggal mati suami dalam peperangan. Beberapa di antaranya bukanlah perempuan muda dan cantik. Misi Nabi saw dalam berpoligami jauh lebih besar dan mulia dari sekedar menuruti hawa nafsu belaka. Dan bukannya tanpa masalah, manusia mulia setaraf Nabi pun bahkan tak lepas dari riak-riak gelombang pasang-surut pernikahan poligami. Jelas poligami memang bukan hal yang mudah untuk dijalankan, bahkan Allah SWT pun perlu 'menggaris-bawahi'nya dalam kitab suci-NYA.

Bersambung..

Post a Comment