“Science can purify religion from error and superstition; religion can purify science from idolatry and false absolutes. Each can draw the other into a wider world, a world in which both can flourish… We need each other to be what we must be, what we are called to be.”
-Paus John Paul II-
Saya termasuk yang seringkali tergoda menyamakan sekuler dengan nilai-nilai hedonis yang acap kali diidentikkan dengan dunia Barat. Salah seorang kawan menyikapi dengan kritis pandangan saya itu. Dia menyebutkan bahwa Amerika yang notabene Barat justru amat mengedepankan prinsip ketuhanan sebagai asas kapitalistis mereka seperti tersurat dalam lembaran mata uangnya "In God We Trust". Amerika Serikat sangatlah agamis dan normatif, begitu komentarnya seraya menyebutkan contoh lainnya seperti motivasi-motivasi penyebaran agama dalam sejarah kolonialisme Barat sejak dulu adalah gold, glory, dan gospel.
Namun, masih menurut kawan saya, untuk konteks pengembangan ilmu dan teknologi, peradaban Barat memang sekuler. Peradaban Barat tak menabukan penggunaan logika-logika ilmiah yang terbuka terhadap penjelasan-penjelasan non-Illahiah. Institusi ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan pesat karena didasari pada logika-logika ilmiah.
Hhmmm…memperbincangkan soal “sekuler” ini rasanya akan lebih afdol jika dikaitkan dengan wacana sekularisasi ala almarhum Cak Nur (Nurcholish Madjid).. Dalam buku "Islam Kemodernan dan Ke-Indonesiaan" yang ditulisnya, Cak Nur menggaris bawahi perbedaan antara sekularisme dan sekularisasi.
Sekularisme adalah suatu paham yang dimulai dengan formula: "Berikan kepada kaisar apa yang menjadi kepunyaan kaisar (urusan duniawi), dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi kepunyaan Tuhan (urusan ukhrawi)". Dengan perkataan lain, sekularisme adalah suatu paham yang mengatakan bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Masalah-masalah duniawi harus diurusi dengan cara-cara lain yang tidak datang dari Tuhan. Jadi sekularisme adalah paham tidak-ber-Tuhan dalam kehidupan duniawi manusia. Sekularisme membentuk filsafat tersendiri dan pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh agama di dunia ini. Sekularisme bertentangan dengan agama, karena agama meyakini adanya hari kemudian (akhirat).
Jika dikaitkan dengan sekularisme ala Cak Nur tsb. saya tak terlalu menyalahkan orang yang dianggap keliru menyamakan "sekuler" dengan nilai-nilai hedonis.. toh, kehidupan hedonis memang banyak bertentangan dengan nilai-nilai agama.. Bukankah sudah menjadi rahasia umum bahwa di Barat sana, orang sudah biasa melakukan seks pra nikah, gonta-ganti pasangan seks, mabuk, wild party, foya-foya dan sebagainya.. bukankah tak satu pun agama yang mengijinkan hal-hal tsb?
Dari sanalah orang tergoda menyamakan nilai-nilai hedonis dengan "sekuler" yang maksudnya berpaham sekularisme.. "Katanya percaya Tuhan dan beragama tapi koq nyeleneh??" Dan jadilah cap "sekuler" melekat pada mereka. Pun, saya tak terlalu menyalahkan orang yang menyimpulkan pandangan tsb. keliru, karena tak bisa dipungkiri kenyataannya sering juga kita temui nilai-nilai kemanusiaan yang lebih tinggi banyak dipraktekkan mereka yang di Barat sana ketimbang (bahkan) di negara-negara Muslim.
Penuh kontradiksi memang.. Sekarang coba cermati sekularisasi yang disimpulkan Cak Nur.. Sekularisasi adalah proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Dalam lebih memperhatikan kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula sikap yg objektif dalam menelaah hukum-hukum yg menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-penyimpulan yg jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan, guna memperoleh ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Di sinilah letak peranan Ilmu Pengetahuan.
Sekularisasi tanpa sekularisme adalah sekularisasi terbatas dan dengan koreksi. Pembatasan dan koreksi itu diberikan oleh kepercayaan akan Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Sekularisasi dalam bentuknya yang demikian selalu menjadi keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam. Perlu memberikan perhatian yang wajar kepada aspek duniawi kehidupan ini.
Lewat buku biografi Amien Rais yang ditulis Zaim Uchrowi, saya (kurang lebih) mengetahui sejarah Cak Nur membersitkan ide sekularisasi agama yang menjadikannya sosok kontroversial di kalangan Muslim konvensional. Ketika itu, masyarakat Indonesia gampang mensakralkan segala hal; banyak tradisi dan kebiasaan keagamaan dianggap sebagai hal yang suci, tak boleh diganggu gugat. Tafsir serta petikan ayat Al-Qur'an dan Hadist dijadikan seperti Tuhan, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Mereka hampir tak dapat menangkap yang tersirat. Mereka hanya mengambil apa yang tersurat atau kasarnya menggunakan "kaca mata kuda" . Kyai atau tokoh agama sering dianggap wakil Tuhan. Di sanalah Cak Nur merasa perlu 'membenahi' cara masyarakat kita memahami Islam.. Dan muncullah wacana sekularisasi agama itu..
Sepertinya kalau harus semua ditulis di sini akan kepanjangan, jadi untuk keterangan lebih lengkap silahkan baca buku Cak Nur "Islam kemodernan dan keIndonesiaan", hal 218. Intinya sekularisasi itu mengajak untuk membedakan mana yang benar-benar sakral dan yang profan.
Saya kira ide "sekularisasi" Cak Nur itu akan jadi amat menarik dan makin bermakna jika digabungkan dengan pendapat Dr. Ali Syariati (sosiolog Muslim) mengenai makna "hijrah".. Syariati menyimpulkan bahwa dunia dalam pandangan masyarakat tertutup – adalah sangkar pribadi yang amat kecil dan rigid, dan tidak ada sesuatu apa pun di balik batas yang demikian sempit – dan sedikit jauh dari kampung halamannya – itu kecuali ketiadaan, kekaburan atau kegelapan total. Masyarakat adalah ungkapan tentang sekumpulan interaksi, tradisi-tradisi, hak-hak pribadi yang kekal dan abadi, dan agama pun merupakan ungkapan dari himpunan kepercayaan dari ritus-ritus yang tidak pernah berubah, bahkan merupakan wahyu yang mesti ditaati tanpa banyak bicara, deterministik, dan jauh dari jangkauan pemahaman dan rasio, khususnya dalam pikiran dan jiwa komunitas orang-orang yang memeluknya pada tingkat yang sama (masyarakat rigid yang tertutup). Dengan kata lain ia merupakan sejenis tindakan naluriah yang buta. Seperti yang diistilahkan Durkheim bahwa agama adalah "Ungkapan lokal dari jiwa masyarakat yang kemudian disakralkan."
Islam tidaklah demikian. Islam sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur'an dan Hadist jelas-jelas menggaris bawahi perlunya "hijrah". Hijrah (saya kira sekularisasi yang dimaksud Cak Nur termasuk di dalamnya) yang secara jelas disebut Syariati sebagai faktor tercapainya kehidupan yang lebih baik bagi orang-orang yang tertindas dan merupakan sebab bagi diperolehnya kenikmatan yang lebih besar dalam kehidupan di dunia.
Syariati mengambil Q.S 4: 97-100 sebagai bahan rujukan penting dalam kaitannya dengan "Hijrah" tsb. Ayat ini merupakan himbauan kepada semua anak manusia yang berada dalam penindasan, tunduk di bawah kekuasaan yang zalim dan bobrok, serta memadamkan nyala jiwa mereka. Mereka tidak bisa bangkit karena keterikatan mereka dengan tradisi-tradisi sosial dan keterbelengguan mereka dengan pandangan politik yang sempit dan jiwa yang kerdil:
"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: "dalam keaadan bagaimana kamu ini?" Mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di dunia." Para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?" Orang-orang itu tempatnya di jahanam, jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki maupun perempuan dan anak-anak, yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah). Mereka itu mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dan dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai di tempat yang dituju). Maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S 4 : 97-100)
Saya kira seandainya masyarakat Muslim mau melepaskan rantai kejumudan dengan jalan sekularisasi, insya Allah, Islam akan berperan lebih relevan menangani permasalahan sosial, budaya, moral, ekonomi, dan bahkan politik! And no more any corruption, violence and terrorisms!!
"Antum A'alamu biumuri dunyakum" (You know better than me about your worldly affairs)
- Nabi Saw-
More over about Ali Syariati (dikutip dari buku “HAJI”) --> Dr. Ali Syariati meninggal thn 1977 di tempat pengasingannya di Inggris. Beliau bukanlah seorang fanatik yang tanpa alasan menentang setiap hal yang baru; begitu pula ia bukanlah seorang intelektual yang kebarat-baratan, yang tanpa pertimbangan meniru Barat. Beliau adalah seorang Muhajir Muslim yang bangkit dari lubuk terdalam mistisisme Timur, berhasil mencapai puncak sains-sains sosial Barat (Ia melanjutkan studynya di Perancis dengan memperoleh beasiswa, sampai akhirnya meraih gelar Doktor di bidang Sosiologi) namun tidak tenggelam di dalam sains-sains tersebut, dan kemudian kembali kepada kita untuk membawakan permata-permata yang telah diperolehnya di alam perjalanan fantastis tsb.
Semasa hidupnya ia terus menerus berusaha untuk menciptakan nilai-nilai humanitarian di dalam diri generasi muda. Mereka inilah generasi yang nilai-nilainya telah menjadi kotor karena metoda-metoda ilmiah dan teknis. Dengan penuh semangat ia berusaha untuk memperkenalkan kembali Al-Qur’an dan sejarah Islam kepada para pemuda agar mereka dapat menemukan diri mereka yang sesungguhnya di dalam keseluruhan dimensi-dimensi kemanusiaan dan memerangi kekuatan-kekuatan sosial yang telah mengalami dekadensi.
Read more...